raja ubiet,raja antara tangse-keumala
Hidup terisolir selama puluhan tahun di tengah Hutan membuat keturunan Raja Ubiet tak tersentuh peradaban modern. Mereka yang dulunya melarikan diri dari kejaran Belanda dari Keumala-Tangse ke pedalaman pucuk Gunung Itam. Ironisnya, mereka baru mengetahui jika Indonesia sudah merdeka pada tahun 1985. Bahkan sampai saat ini ada di antara mereka yang tak pernah makan garam, takut turun gunung karena menganggap Negeri masih di kuasai Belanda. Bagaimana kisahnya?
Raja
Ubiet adalah Raja Keumala-Tangse, Aceh Pidie yang membawa pengikut dan
keturunannya ke Gunung Itam di gugusan Bukit Barisan di Nagan Raya untuk
menghindari kejaran penjajah Belanda. Mereka hidup secara tradisional
mengandalkan kemurahan alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka
hidup dalam peradaban yang nyaris tanpa sentuhan modernisasi.
Saat
ini, ada 50 kepala keluarga yang menempati 50 rumah di hulu Sungai
Krueng Tripa di pegunungan itu. Mereka dipimpin Teuku Raja Keumala (50),
keturunan langsung Raja Ubiet. Teuku Raja Keumala adalah raja tanpa
mahkota dan kursi kerajaan di wilayah yang berbatasan dengan Aceh Tengah
dan Pidi Jaya itu. Saking sederhananya, Teuku Raja Keumala kerap tampil
berbusana hitam-hitam tanpa alas kaki dengan kepala dililit kain hitam
Warga
yang dipimpin Teuku Raja Keumala tak kalah tradisionalnya dan hidup
alamiah di hutan rimba. Malahan hingga kini, ada warganya yang tidak
makan garam, karena tidak turun gunung. Selain 50 rumah yang berada di
pucuk Gunung Itam itu, komunitas turunan Raja Ubiet, yang sudah
menikmati perubahan alias modernisasi, membuka pemukiman baru di Gunung
Kong.
“Mereka
turunan kesekian dari Raja Ubiet, ayah saya. Mereka turun gunung pada
tahun 80-an, semasa gubernur Ibrahim Hasan,” ujar Teuku Raja Keumala
dalam bahasa Aceh kental yang diterjemahi oleh Saifuddin Junaidi, 59
tahun.
Jarak
tempuh dari Gunung Kong ke Pucuk Gunung Itam, memakan waktu dua hari
dua malam berjalan kaki. Jalannya hanya setapak dan melintasi bebatuan
juga hutan rimba.
Ironisnya,
kehidupan warga pedalaman yang dulunya melarikan diri dari kejaran
Belanda dari Keumala-Tangse, Pidie, ke pedalaman pucuk Gunung Itam, ini
baru mengetahui kalau Indonesia merdeka, semasa Gubernur Ibrahim Hasan
atau tepatnya tahun 1985. Kala itu, Ibrahim Hasan, meminta mereka untuk
turun gunung.
Seusai
bertemu gubernur, rumah bantuan pun diberikan, makanya sebagian
komunitas keturunan Raja Ubiet, berada di Gunung Kong. Sebagian turunan
kedua Raja Ubiet lainnya masih bertahan di pedalaman dan hidup apa
adanya yang bersumber dari hutan. “Kami menanam pisang, ketela,
singkong, durian, dan juga padi, untuk makan sehari-hari,” tukas Teuku
Raja Keumala, anak kelima dari Raja Ubiet.
Diakuinya,
pendatang yang berkunjung ke pemukiman di Pucuk Gunung Itam, tetap
harus beradaptasi dengan warga setempat. Misalnya, lanjutnya, pakaian
tamu harus berwarna hitam-hitam dan tidak boleh pakaian yang menyerupai
penjajah Belanda yang dinilainya ‘kafir’.
Tidak
boleh memakai topi juga tanpa alas kaki. Pengharusan ini, ujarnya,
dikarenakan menghormati kebiasaan mereka sejak zaman penjajahan Belanda,
tempo dulu. Kebaisaan tersebut, terbawa hingga kini, kecuali komunitas
turunan yanga berada di Gunung Kong.
Dia
bilang, kaum perempuan pun juga mengenakan busana serba hitam dan
memakai celana panjang seperti yang dikenakan Cut Nyak Din, pahlawan
nasional Aceh. hanya saja, celananya serba longgar begitu juga bajunya.
Diakuinya lagi, pakaian mereka dijahit menggunakan tangan dan benangnya
yang diolah dari benang nenas. Sementara, kainnya di pesan dari pasar
melalui kurir sejak zaman penjajahan dulu.
Ia
pun mengisahkan, Raja Ubiet dulunya tidak mau menyerah atau takluk
kepada Belanda, makanya mereka sekeluarga lari ke gunung. Tak sampai di
situ, diperjalanan mereka tetap dikejar dan berakhir di Pucuk Gunung
Itam, sisanya ke gunung lainnya. Saat di kejar itu, mereka membuang
semua alasa kaki, sehingga tidak mudah diendus jejaknya.
Begitu
juga, terangnya, pakaian warna warni ikut mereka tanggalkan, karena
dianggap memudahkan pihak Belanda menemukan mereka. Alhasil, hingga kini
mengenakan pakaian serba hitam dan tanpa alas kaki, meski ke kota
sekalipun. Kecuali, komunitas yang berada di Gunung Kong, sudah pakai
alas kaki dan juga pakaiannya berwarna-warni.
Kebencian
terhadap penjajah itulah, makanya siapapun yang berkunjung ke Pucuk
Gunung Itam, tampilannya tidak boleh menyerupai ‘kafir’. Lagipula,
hingga kini mereka belum mau menerima kemajuan tekhnologi, sehingga
tidak ada televisi, apalagi handphone, di sana.
Selain
itu, tingkat kewaspadaan mereka masih tetap tinggi dan berbekas hingga
saat ini. Pandangan matanya lebih sering ditujukan ke bawah, namun ekor
matanya kerap mengawasi, seolah dalam kesiap-siagaan penuh alias penuh
kecurigaan terhadap orang asing. Meski Indonesia telah merdeka 60-an
tahun lebih, namun, keturunan Raja Ubiet, masih ada rasa ketakutan
kalau-kalau Belanda kembali mengejar mereka.
Tak
pelak lagi, ada diantara warga di Pucuk Gunung Itam, ini yang
berbulan-bulan tidak menikmati rasanya garam atau pun manisnya gula.
Mereka biasa hidup dalam penderitaan di tengah hutan belantara, karena
ketakutan tadi.
Hanya Bisa Mengaji, Berobatpun dari Tanaman Hutan
Warga
pedalaman keturunan Raja Ubiet pun terbiasa menikmati dan memanfaatkan
hasil hutan, tetapi tidak merusak hutan, begitu kata mereka.Kesibukan
pagi pun di mulai. Pihak laki-laki bekerja ke ladang, sementara sang
perempuan disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, meski sesekali ikut
membantu sang suami.
Sementara
itu, sebagian anak kecil lainnya mulai bermain permainan yang biasa
mereka lakukan. Tak ada yang beda, selain waktu anak-anak usia sekolah
ini, hanya bermain atau mengikuti orang tuanya ke ladang.
Siang
pun tiba, matahari tepat di atas kepala dan embun pun sudah menghilang.
Suhu yang biasanya dingin, kini mulai menghangat. Seusai makan siang,
mereka kembali bekerja dan menjelang sore, mereka kembali ke rumah
masing-masing.
Malam
tiba, giliran anak-anak belajar mengaji dengan lampu penerangan
seadanya dan itulah satu-satunya pendidikan yang mereka terima
dikarenakan semenjak zaman penjajahan Belanda, tidak ada sekolahan
apalagi guru yang mengajarkan mereka baca tulis.
“Sebenarnya
ada anak-anak yang bisa baca tulis, namun hanya sedikit. Mereka bisa
baca tulis itu, ketika turun gunung dan menyaksikan sepupu mereka yang
berada di Gunung Kong atau Blang Tripa, sudah bisa membaca dan menulis,
sehingga yang turun gunung ini pun meminta diajarkan baca tulis.
Diakui
Teuku Raja Keumala, masyarakat yang berada di Gunung Ijo atau Krueng
Itam, tidak pernah merasakan bangku sekolah. Mereka bisanya mengaji,
karena hanya ada guru mengaji di pedalaman tersebut. Kecuali, ujarnya,
keturunan Raja Ubiet yang telah bermukim di Gunung Kong (kuat) atau yang
telah berdomisili di Alu Bilie, pemukiman di tepi Jalan Nagan
Raya-Meulaboh, mereka telah menerima modernisasi.
“Masih
ingat apa yang dikatakan nek tu alias indatu (tetua Teuku Raja Keumala)
bahwa mereka dilarang atau terlarang turun hingga menyeberang sungai
Tripa atau yang saat ini, di sebut Gunung Kong. Bisanya kami, turun
gunung sebatas Blang Tripa, tempat sebagian warga lainnya membuka
pemukiman baru, dimana Pemerintah Aceh membangunkan rumah bantuan untuk
keturunan Raja Ubiet disana,” tukasnya lagi.
Beberapa
diantara keturunan Raja Ubiet atau yang mengikuti orang tua Raja Ubiet,
Raja Tampuk lari dari kejaran Belanda, memang ada yang bermukim di
Gunung Kong. Nah, terangnya, ketika mereka telah menyeberang sungai itu,
maka dianggaplah bahwa mereka telah melanggar petuah orang tua, namun
tidak serta merta dikucilkan.
Selain
pendidikan yang tidak ada sama sekali, kecuali mengaji. Apabila berobat
pun, masyarakat hanya ke dukun setempat yang meramu obat-obatannya dari
tanaman di sekitar hutan. Menurut Teuku Raja Keumala, sama dengan
sekolahan, maka tidak ada perawat atau mantri yang dipercaya masyarakat
untuk mengobati sakit mereka.
Biasanya,
sakit yang diderita pun hanya seputar gatal-gatal atau penyakit kulit,
sakit perut, kepala, luka-luka di gigit serangga atau luka gores. Tidak
ada sakit yang aneh-aneh, seperti penyakit orang kotaan, tambah Teuku
Saudi, sepupunya Teuku Raja Keumala yang sudah lama bermukim di Kota
Banda Aceh.
Dituturkan
Teuku Saudi, sebagian besar keturunan Raja Ubiet, mulai terkontaminasi
kemajuan atau modernisasi, tetapi tidak sedikit pula yang masih bertahan
dengan kehidupan alamiah di tengah hutan rimba. Keteguhan masyarakat
yang masih bertahan di Gunung Ijo atau hulu Krueng Itam, dikarenakan
masih mempertahankan petuah orang tua, agar tidak melewati daerah
terlarang.
Gajah Pemalu
Diceritakan
Teuku Raja Keumala, ketika menyusuri jalan setapak menuju Pucuk Gunung
Ijo atau Krueng Itam, mereka harus berjalan seharian penuh di tepi
sungai Krueng Tripa yang sebagian besarnya agak mendatar. Setelah
menyeberangi Sungai Tripa yang dalamnya hanya setinggi dada seorang
pria, maka warga setempat, masih harus menyusuri tepian Sungai Krueng
Itam.
Keesokan harinya, jalannya akan mendaki gunung, menuruni lembah, mendaki lagi dan menuruni gunung lagi, seharian penuh, hingga menuju pucuk Gunung Ijo yang letaknya berbatasan dengan Aceh tengah dan Pidie Jaya. “Tak ada akses jalan ke tempat lainnya,” tukas Teuku Raja Keumala.
Ketika menyusuri jalan dua hari dua malam menuju pemukiman warga pedalaman keturunan Raja Ubiet, mereka kerap menemukan bekas jejak tapak harimau yang disebut warga setempat dengan julukan ‘raja’. Begitu juga dengan feses atau tapak gajah. Malahan, ujarnya lagi, beberapa di antara warga disitu, pernah berpapasan dengan gajah, tetapi gajahnya tertunduk malu, ketika mereka melintas.
Raja Keumala menilai kalau gajah itu merupakan gajah aulia penunggu gunung setempat. Dan lagi, ucapnya, binatang buas yang kerap mereka temui feses dan tapaknya, tidak pernah menggangu begitu juga sebaliknya, mereka tidak mengganggu binatang tersebut.
Teuku Raja Keumala bilang, perkara menikah, mereka masih menganut sistem lama, dimana kalau tertarik terhadap seorang perempuan, maka si pria bersama orang tua, langsung meminang dan begitu si orang tua perempuan setuju, maka hari itu juga pernikahan dilangsungkan, tanpa saling kenal terlebih dahulu.
Tradisi ini, masih melekat hingga kini di masyarakat yang menghuni pedalaman dan Blang Tripa, tetapi tidak yang di Gunung Kong. Apalagi, tuan kadi yang di Gunung Kong, kata Teuku Raja Keumala, kesohor ‘tukang’ menikahkan orang yang di daerah asal si pasangan, tidak disetujui, sehingga pasangan itu pun, nikah siri.
Raja tidak mengetahui kalau pemerintah pusat bakal mengeluarkan peraturan pelarangan nikah siri. Menurutnya, mereka di pedalaman lambat mendapatkan informasi dikarenakan tidak adanya fasilitas penyampai pesan seperti masyarakat di kota.
Keesokan harinya, jalannya akan mendaki gunung, menuruni lembah, mendaki lagi dan menuruni gunung lagi, seharian penuh, hingga menuju pucuk Gunung Ijo yang letaknya berbatasan dengan Aceh tengah dan Pidie Jaya. “Tak ada akses jalan ke tempat lainnya,” tukas Teuku Raja Keumala.
Ketika menyusuri jalan dua hari dua malam menuju pemukiman warga pedalaman keturunan Raja Ubiet, mereka kerap menemukan bekas jejak tapak harimau yang disebut warga setempat dengan julukan ‘raja’. Begitu juga dengan feses atau tapak gajah. Malahan, ujarnya lagi, beberapa di antara warga disitu, pernah berpapasan dengan gajah, tetapi gajahnya tertunduk malu, ketika mereka melintas.
Raja Keumala menilai kalau gajah itu merupakan gajah aulia penunggu gunung setempat. Dan lagi, ucapnya, binatang buas yang kerap mereka temui feses dan tapaknya, tidak pernah menggangu begitu juga sebaliknya, mereka tidak mengganggu binatang tersebut.
Teuku Raja Keumala bilang, perkara menikah, mereka masih menganut sistem lama, dimana kalau tertarik terhadap seorang perempuan, maka si pria bersama orang tua, langsung meminang dan begitu si orang tua perempuan setuju, maka hari itu juga pernikahan dilangsungkan, tanpa saling kenal terlebih dahulu.
Tradisi ini, masih melekat hingga kini di masyarakat yang menghuni pedalaman dan Blang Tripa, tetapi tidak yang di Gunung Kong. Apalagi, tuan kadi yang di Gunung Kong, kata Teuku Raja Keumala, kesohor ‘tukang’ menikahkan orang yang di daerah asal si pasangan, tidak disetujui, sehingga pasangan itu pun, nikah siri.
Raja tidak mengetahui kalau pemerintah pusat bakal mengeluarkan peraturan pelarangan nikah siri. Menurutnya, mereka di pedalaman lambat mendapatkan informasi dikarenakan tidak adanya fasilitas penyampai pesan seperti masyarakat di kota.
sumber ;http://yasirmaster.blogspot.co.id/2011/12/kisah-keturunan-raja-ubiet-di-pedalaman.html
EmoticonEmoticon